RSS

Waduh... Biaya Pengelolaan Darah Minim Kompas - Jumat, 19 Februari

[Waduh... Biaya Pengelolaan Darah Minim] Waduh... Biaya Pengelolaan Darah Minim

JAKARTA, KOMPAS.com - Walaupun pemerintah menugaskan kepada PMI untuk pelayanan darah, namun tugas pengelolaan darah itu tak bisa dilakukan optimal karena subsidi pemerintah pusat dan daerah sangat minim. Subsidi reagensia HIV dari APBN baru mulai ada lagi Januari 2010, sedangkan subsidi reagensia HbsAg, HCV, dan Sifilis untuk 2010 nihil. Subsidi reagensia dari APBN tidak terjamin keberlangsungannya.

Kenyataan itu diungkapkan Ketua Umum Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia HM Jusuf Kalla, di hadapan Komisi IX DPR RI, Kamis (18/2/2010) di Jakarta, dalam acara dengar pendapat tentang Peran PMI dalam Pemenuhan Kebutuhan Darah. Penyediaan darah oleh PMI baru tercapai 0,7 persen jumlah penduduk (1,7 juta kantung, tahun 2008) dan persediaan darah baru mencukupi kebutuhan 2 hari. "Pencapaian ini jauh dari target WHO yakni 2 persen jumlah penduduk atau 4 juta kantung per tahun dan persediaan darah mencukupi kebutuhan 4 hari," katanya.

Untuk melayani kebutuhan darah, PMI mendirikan unit transfuse darah (UTD) di 33 UTD provinsi dan 178 UTD kota/kabupaten dan satu UTDP. Jusuf Kalla menjelaskan, gedung PMI diakui masih belum memenuhi standar sebagai UTD. Begitu juga peralatan, baik jumlah maupun kualitas belum memenuhi standar. "Tenaga, jumlah ataupun kompetensinya kurang. Dokter purnawaktu baru terpenuhi 20 persen. Teknisi transfuse darah baru 4 orang/UTD dari jumlah optimal 13 orang per UTD. Tenaga pengerahan donor masih sangat kurang. Sebanyak 52 dari 211 UTD PMI mencapai donasi sukarela kecil 50 persen," papar Kalla.

Dari 1,7 juta kantung darah, sebanyak 2,71 persen darah yang dikumpulkan tidak dapat digunakan karena HIV (+) 0,07 persen, hepatitis B (+) sebanyak 1,78 persen, hepatitis C (+) sebanyak 0,59 persen, dan sifilis (+). "Biaya pemusnahan darah infeksius ini cukup tinggi dan berisiko penularan infeksi untuk petugas," kata Ketua Umum Pengurus Pusat PMI itu.

Dengan biaya pengganti pengolahan darah (BPPD) untuk Askeskin Rp 120.000/kantung, hanya baru mencukupi biaya kantung darah sekitar Rp 37.000, biaya reagensia HIV Rp 22.000, HBsAg Rp 13.000, HCV Rp 34.000, dan sifilis Rp 14.000. Sehingga biaya untuk gedung, peralatan, tenaga, dan operasional lainnya yang harus dikeluarkan per bulan, lanjut Jusuf Kalla, belum terpenuhi. Hasil penghitungan unit cost Rp 267.000 per kantung, terdiri dari 47 persen biaya penggantian fasilitas dan pelatihan tenaga, 53 persen biaya operasional.

Jusuf Kalla berpendapat, untuk mencapai target pengadaan 3 juta kantung darah tahun 2010, untuk pengadaan reagensia infeksi diperlukan dana Rp 360 miliar. Karena itu, DPR dan pemerintah diharapkan mengalokasikan anggaran untuk pelayanan darah untuk keperluan pengadaan reagensia infeksi dan pelaksanaan pengolahan plasma melalui proses fraksionasi oleh karena saat ini banyak plasma terbuang padahal mengandung faktor VIII dan IX, globulin, albumin serta fibrinogen untuk kegunaan pengobatan.

Rencana ke depan, kata Jusuf Kalla, mendirikan pabrik kantung darah, karena kebutuhan tinggi, mencapai 4 juta/tahun. Dengan produk sendiri diharapkan dapat menurunkan biaya pelayanan darah. Untuk meningkatkan donasi menjadi 4 juta kantung dan persediaan 4 hari, akan didirikan tempat pengambilan darah di pusat perbelanjaan dan kampus. Uji coba di 5 pusat perbelanjaan di Jakarta, Surabaya, dan Makassar.

Tercatat 11 anggota Komisi IX DPR RI memberikan tanggapan yang beragam. Erwin T Setiawan mempertanyakan, apa mungkin PMI tak hanya mengurusi darah, tapi bisa juga masalah ginjal dan tali pusar. Endang Agustini Syarwan Hamid mengatakan, pelayanan PMI belum memuaskan, masyarakat berbelit-belit untuk mendapatkan darah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda Berkomentar pada blog ini

© 2009 - UNIT DONOR DARAH PMI KOTA MAKASSAR | Design: Choen | Pagenav: Abu Farhan Top